MAKALAH EMOSI PSIKOLOGI PENDIDIKAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja berada pada periode yang banyak mengalami masalah pertumbuhan dan perkembangan khususnya menyangkut dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan lingkungan dan masyarakat serta orang dewasa. Kematangan hormon seks yang ditandai dengan datangnya menstruasi bagi remaja putri dan keluarnya mani melalui mimpi basah pada remaja putra dapat menimbulkan kebingungan dan perasaan cemas, khususnya apabila mereka belum disiapkan untuk menyikapi peristiwa tersebut secara positif. Begitu juga perubahan yang dialami tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan hubungan sosial remaja. Para remaja mulai tertarik pada lawan jenis, ketertarikan ini disatu sisi dapat menimbulkan konflik dalam diri mereka karena muncul perasaan malu, kurang percaya diri, dan kebingungan dalam penyesuaian diri agar bertingkah laku seperti diinginkan orang dewasa.

Kecenderungan tingginya gejolak emosi remaja perlu dipahami oleh pendidik, khususnya orang tua dan guru. Untuk itu perlu dihindari hal-hal yang dapat menimbulkan emosi negatif seperti marah, kecewa, sedih yang mendalam, frustasi, cemas, dan lain-lain. Dengan mempelajari emosi kita sebagai seorang pendidik dapat mengenali emosi diri sendiri, sehingga dapat meningkatkan emosi positif dalam diri sendiri dan peserta didik, dan meminimalkan atau mengendalikan emosi-emosi anak didik yang perlu dikembangkan.

Pandangan umum tentang emosi adalah ketika seseorang mengalami suatu kejadian di lingkungannya dan kejadian tersebutlah yang membentuk emosi dalam diri kita. Awalnya dari lingkungan lalu tubuh bereaksi sebagai respon, berikutnya perubahan fisiologis ini memunculkan emosi. Bukan sebaliknya, emosi memunculkan reaksi, emosi yang berbeda diasosiasikan dengan keadaan identik psikofisiologis yang terjadi dalam tubuh, organ dalam tubuh tidaklah sangat sensitif. Karena tidak selalu bisa memilah informasi yang berbeda ketika seseorang butuh pengalaman untuk mendapatkan suatu emosi, contohnya rasa takut dan tegang. Perkembangan perubahan dalam tubuh diasosiasikan dengan pembentukan emosi, jika tidak terjadi stimulus normal yang terbangkitkan, individu takkan mengalami suatu emosi yang mekorespondasi reaksi fisik. Terkait dengan uraian tersebut dalam kalah ini akan dibahas mengenai emosi khususnya tentang bentuk reaksi emosi dan perkembangan emosi.

Menurut pandangan islam tentang emosi adalah

Dalam surah Al-Hadid ayat 23 berbunyi:

https://rinizz.files.wordpress.com/2015/06/8d03c-emosi2bal2bhadid2b23.png

Artinya : “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang’yang sombong lagi membanggakan diri”. (Q.S Al-Hadid: 23)

B. Rumusan Masalah

  1. Mengembangkan pengertian emosi dan faktor-faktor yang mempengaruhi emosi?
  2. Mengembangkan perkembangan moral, nilai, dan sikap?
  3. Menjelaskan teori pengembangan moral?
  4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral?
  5. Menguraikan upaya pengembangan moral, nilai, dan sikap serta implikasi bagi pendidikan?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Emosi

        Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.

Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain :

a. Descrates, membagi emosi :

  1. Hasrat (Desire)
  2. Benci (Hate)
  3. Sedih/duka (Sorrow)
  4. Heran (Wonder)
  5. Cinta (Love)
  6. Kegembiraan (Joy).

b. JB Watson, mengemukakan tiga macam emosi:

  1. Ketakutan (Fear)
  2. Kemarahan (Rage)
  3. Cinta (Love).

c. Daniel Goleman,

mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:

  1. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
  2. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
  3. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
  4. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
  5. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat,  dan kemesraan
  6. Terkejut : terkesiap, terkejut
  7. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
  8. malu : malu hati, kesal

    Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada.Dalam The Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).

Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, Definisi Emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Istilah emosi dalam pemakaian kita sehari-hari sangat berbeda dengan pengertian emosi dalam psikologi. Emosi adalah luapan perasaan yang berkembang sebagai reaksi psikologis-fisiologis dan surut dalam waktu singkat. Emosi bersifat subyektif. Emosi ada yang bersifat positif dan ada yang negatif. Para psikolog mengkaji emosi dengan memberi perhatian yang sesuai dengan urgensinya dalam kehidupan manusia. Emosi punya pengaruh terhadap kesehatan mental dan fisik manusia, serta pengaruh terhadap perilaku pribadi dan sosial. Emosi, dengan pengertian ini, berpengaruh terhadap segala aspek kepribadian individu, luar, dan dalam. Emosi dirasakan secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik.

Berikut ini beberapa pengertian atau definisi emosi yang kami rangkum dari para ahli:

  1. George Miller

Emosi adalah pengalaman seseorang tentang perasaan yang kuat, dan biasanya diiringi dengan perubahan-perubahan fisik dalam peredaran darah dan pernapasan, biasanya juga dibarengi dengan tindakan-tindakan pemaksaan.

  1. Angels

Emosi adalah kondisi perasaan yang kompleks, yang diiringi dengan beberapa gerakan atau aktivitas kelenjar. Atau, perilaku yang kompleks yang didominasi oleh aktivitas lambung atau organ-organ intrinsik.

  1. Muhammad Najaati

Emosi adalah kekacauan hebat yang meliputi segala aspek individu, dan berpengaruh terhadap perilakunya, perasaannya, dan fungsi vitalnya. Asalnya dia muncul dari faktor psikologis.

  1. Abdullah Abdul Hayy Musa

Emosi adalah perubahan tiba-tiba yang meliputi segala aspek individu, baik psikis maupun fisiknya.

  1. Stanley

Emosi adalah fondasi utama yang melandasi kelahiran dan perkembangan kekuatan mental.

EMOSI REMAJA        

 

                  Sejak lama masa remaja dinyatakan sebagai masa badai emosional (Hall,1904). Walaupun reamaja tidak selalu dalam kondisi “badai dan stress”. Meskipun demikian tidak dapat disangkal bahwa awal merupakan suatu masa di mana fluktuasi emosi (naik dan turun) berlangsung lebih sering (Rosenblum & Lewis,2003). Remaja muda dapat merasa sebagai orang yang paling bahagia di suatu saat dan kemudian merasa orang yang paling malang di saat lain. Dalam banyak kasus, intensitas dari emosi mereka agaknya berada diluar proporsi dari peristiwa yang membangkitkannya (Steunberg & Levine,1997). Remaja muda dapat merajuk, tidak mengetahui bagaimana caranya mengekspresikan perasaan mereka secara cukup. Dengan sedikit provokasi sam sekali, mereka dapat menjadi sangat marah ke orang tuanya, memproyeksikan perasaan-perasaan mereka yang tidak menyenangkan kepada orang lain.

                  Para peneliti meningkatnya emosi-emosi negatif berkaitan dengan perubahan pubertas dan pengaruh hormonal itu hanya sebagian kecil mempengaruhi. Pengalaman lingkungan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap emosi remaja dibandingkan perubahan hormonal. Diantara pengalaman yang menekan yang mungkin berkontribusi perubahan emosi di masa remaja adalah transisi ketika memasuki sekolah menengah dan munculnya pengalaman seksual dan relasi romantis. Di samping itu, kerentanan dan kebingungan yang muncul karena pengalaman seksual dan relasi romantis diperkirakan akan sangat mewarnai perubahan emosional pada remaja.

                  Di masa remaja, individu cenderung lebih menyadari siklus emosionalnya, seperti perasaan bersalah karena marah. Kesadaran yang baru ini dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi emosi-emosinya ke orang lain.

Macam-Macam Emosi

Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi individu dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: (1) emosi sensoris dan (2) emosi psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : (1) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (2) perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok; (3) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral); (4) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (5) perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious).

Ciri-ciri Emosi

           Setiap orang memiliki pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau karakteristik dari reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlau variatif dan fluktuatif. Sebaliknya, ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi, biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-duga. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) mengemukakan empat ciri emosi, yaitu:

  1. Pengalaman emosional bersifat pribadi dan subyektif. Pengalaman seseorang memegang peranan penting dalam pertumbuhan rasa takut, sayang dan jenis-jenis emosi lainnya. Pengalaman emosional ini kadang–kadang berlangsung tanpa disadari dan tidak dimengerti oleh yang bersangkutan kenapa ia merasa takut pada sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu ditakuti. Lebih bersifat subyektif dari peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir.
  2. Emosi diekspresikan dalam perilaku. Emosi yang dihayati oleh seseorang diekspresikan dalam perilakunya, terutama dalam ekspresi roman muka dan suara/bahasa. Ekspresi emosi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman, belajar dan kematangan.
  3. Emosi sebagai motif. Motif merupakan suatu tenaga yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan. Demikian juga dengan emosi, dapat mendorong sesuatu kegiatan, kendati demikian diantara keduanya merupakan konsep yang berbeda. Motif atau dorongan pemunculannya berlangsung secara siklik, bergantung pada adanya perubahan dalam irama psikologis, sedangkan emosi tampak lebih bergantung pada situasi merangsang dan arti signifikansi personalnya bagi individu Menurut J.P. Chaplin (2005). Motif lebih berkenaan pola habitual yang otomatis dari pemuasan, sementara reaksi emosional tidak memiliki pola atau cara-cara kebiasaan reaktif yang siap pakai.
  4. Adanya perubahan aspek jasmaniah. Pada waktu individu menghayati suatu emosi, maka terjadi perubahan pada aspek jasmaniah. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu terjadi serempak, mungkin yang satu mengikuti yang lainnya. Seseorang jika marah maka perubahan yang paling kuat terjadi debar jantungnya, sedang yang lain adalah pada pernafasannya, dan sebagainya. Syamsu Yusuf (2003) memberikan  gambaran tentang keadaan emosi seorang individu dikaitkan dengan perubahan jasmaniah, sebagaimana tampak tabel di bawah ini:
Terpesona Reaksi elektris pada kulit
Marah Peredaran darah bertambah cepat
Terkejut Denyut jantung bertambah cepat
Kecewa Bernafas panjang
Sakit marah Pupil mata membesar
Cemas Air liur mengering
Takut Berdiri bulu roma
Tegang Terganggu pencernaan, otot tegang dan bergetar.

Pola sambutan emosional seringkali organisasinya kacau-balau dan hal ini sangat tampak pada mereka yang mengalami gangguan kekacauan emosional (emotional disorder) yaitu sejenis penyakit mental dimana reaksi emosionalnya tidak tepat dan kronis serta sangat menonjol atau menguasai kepribadian yang bersangkutan. Untuk kasus-kasus kekacauan emosi yang sangat ekstrem biasanya diperlukan terapi tersendiri dengan bantuan ahli.

Perkembangan Emosi

Sejalan dengan usianya, emosi seorang individu pun akan terus mengalami perkembangan. Dengan mengutip pendapat Bridges, Loree (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) menjelaskan proses perkembangan dan diferensiasi emosional pada anak-anak, sebagai berikut:

Usia Ciri-Ciri
Pada saat dilahirkan Bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan tertentu (bunyi, cahaya, temperatur)
0 – 3 bln Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang tuanya
3 – 6 bln Ketidaksenangan berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian dan ketakutan
9 – 12 bln Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
18 bulan pertama Kecemburuan mulai berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
2 th Kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan
5 th Ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu, cemas dan kecewa sedangkan kesenangan berdiferensiasi ke dalam harapan dan kasih sayang

Upaya  Memelihara Emosi

Emosi sangat memegang peranan penting dalam kehidupan individu, akan memberi warna kepada kepribadian, aktivitas serta penampilannya dan juga akan mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mentalnya. Agar kesejahteraan dan kesehatan mental ini tetap terjaga, maka individu perlu melakukan beberapa usaha untuk memelihara emosi-emosinya yang konstruktif. Dengan merujuk pada pemikiran James C. Coleman (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005), di bawah ini dikemukakan beberapa cara untuk memelihara emosi yang konstruktif.

  1. Bangkitkan rasa humor. Yang dimaksud rasa humor disini adalah rasa senang, rasa gembira, rasa optimisme. Seseorang yang memiliki rasa humor tidak akan mudah putus asa, ia akan bisa tertawa meskipun sedang menghadapi kesulitan.
  2. Peliharalah selalu emosi-emosi yang positif, jauhkanlah emosi negatif. Dengan selalu mengusahakan munculnya emosi positif, maka sedikit sekali kemungkinan individu akan mengalami emosi negatif. Kalaupun ia menghayati emosi negatif, tetapi diusahakan yang intensitasnya rendah, sehingga masih bernilai positif.
  3. Senatiasa berorientasi kepada kenyataan. Kehidupan individu memiliki titik tolak dan sasaran yang akan dicapai. Agar tidak bersifat negatif, sebaiknya individu selalu bertolak dari kenyataan, apa yang dimiliki dan bisa dikerjakan, dan ditujukan kepada pencapaian sesuatu tujuan yang nyata juga.

Kurangi dan hilangkan emosi yang negatif. Apabila individu telah terlanjur menghadapi emosi yang negatif, segeralah berupaya untuk mengurangi dan menghilangkan emosi-emosi tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui: pemahaman akan apa yang menimbulkan emosi tersebut, pengembangan pola-pola tindakan atau respons emosional, mengadakan pencurahan perasaan, dan pengikisan akan emosi-emosi yang kuat.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emosi

Beberapa ahli psikologi menyebutkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kematangan emosi seseorang (Astuti, 2005), yaitu:

  1. Pola asuh orangtua.

Pola asuh orang tua terhadap anak bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja, sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga dengan penuh cinta kasih. Perbedaan pola asuh dari orang tua seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi peserta didik.

Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga ini akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Dalam pembentukan kepribadian seorang anak, keluarga mempunyai pengaruh yang besar. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak, salah satu faktor tersebut adalah pola asuh orangtua (Tarmudji, 2001). Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2001). Dimana suatu tugas tersebut berkaitan dengan mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya baik secara fisik maupun psikologis (Andayani dan Koentjoro, 2004).

Menurut Goleman (2002) cara orang tua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang mendalam dan permanen pada kehidupan anak. Goleman (2002) juga menemukan bahwa pasangan yang secara emosional lebih terampil merupakan pasangan yang paling berhasil dalam membantu anak-anak mereka mengalami perubahan emosi. Pendidikan emosi ini dimulai pada saat-saat paling awal dalam rentang kehidupan manusia, yaitu pada masa bayi.

Idealnya orangtua akan mengambil bagian dalam pendewasaan anak-anak karena dari kedua orangtua anak akan belajar mandiri melalui proses belajar sosial dengan modelling (Andayani dan Koentjoro, 2004)

  1. Pengalaman traumatik

Kejadian-kejadian traumatis masa lalu dapat mempengaruhi perkembangan emosi seseorang, dampaknya jejak rasa takut dan sikap terlalu waspada yang ditimbulkan dapat berlangsung seumur hidup. Kejadian-kejadian traumatis tersebut dapat bersumber dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga (Astuti, 2005).

  1.    Temperamen

Temperamen dapat didefinisikan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional kita. Hingga tahap tertentu masing- masing individu memiliki kisaran emosi sendiri-sendiri, temperamen merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian dari genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam rentang kehidupan manusia (Astuti, 2005).

  1.    Jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin memiliki pengaruh yang berkaitan dengan adanya perbedaan hormonal antara laki- laki dan perempuan, peran jenis maupun tuntutan sosial yang berpengaruh pula terhadap adanya perbedaan karakteristik emosi diantara keduanya (Astuti, 2005).

  1. Usia perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang sejalan dengan pertambahan usianya.

Hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang. Ketika usia semakin tua, kadar hormonal dalam tubuh turut berkurang, sehingga mengakibatkan penurunan pengaruhnya terhadap kondisi emosi (Moloney, dalam Puspitasari Nuryoto 2001). Namun demikian, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan seseorang yang sudah tua, kondisi emosinya masih seperti orang muda yang cenderung meledak- ledak. Hal tersebut dapat diakibatkan karena adanya kelainan- kelainan di dalam tubuhnya, khususnya kelainan anggota fisik. Kelainan yang tersebut dapat terjadi akibat dari pengaruh makanan yang banyak merangsang terbentuknya kadar hormonal.

  1. Perubahan jasmani.

Perubahan jasmani ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada taraf permulaan petumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang. Ketidak seimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tidak terduga pada perkembangan emosi peserta didik. Tidak setiap peserta didik dapat menerima perubahan kondisi tubuh seperti ini, lebih-lebih perubahan tersebut menyangkut perubahan kulit yang menjadi kasar dan penuh jerawat. Hormone-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh peserta didik dan seringkali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya.

  1. Perubahan interaksi dengan teman sebaya.

Peserta didik sering kali membangun interaksi sesama teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk emacam geng. Interaksi antar anggotanya dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intens serta memiliki kohesivitas dan solidaritas yang sangat tinggi. Fakor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis. Gejala ini sebenarnya sehat bagi peserta didik, tetapi tidak jarang menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada mereka jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua atau orang yang lebih dewasa.

  1. Perubahan Pandangan Luar.

Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik konflik emosional dalam diri peserta didik, yaitu:

a. Sikap dunia luar terhadap peserta didik sering tidak konsisten

b. Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk peserta didik laki-laki dan perempuan.

c. Seringkali kekosongan peserta didik dimamfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab.

  1. Perubahan interaksi dengan sekolah.

Sekolah merupakan tempat pendidikan yang sangat diidealkan oleh pererta didik. Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan mereka karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Oleh karena itu tidak jarang anak-anak lebih percaya, lebih patuh, bahkan lebih takut kepada guru daripada kepada orang tuanya. Posisi guru disini amat strategis apabila digunakan untuk pengembangan emosi anak melalui penyampaian materi-materi yang positif dan konstruktif

Mengembangkan Perkembangan Moral, Nilai, dan Sikap

Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.

  1. Nilai

Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.

Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai. Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.

  1. Moral

Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.

Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.

  1. Sikap

Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.

Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.

Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:

  1. Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
  2. Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.
  3. Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap individu.

Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.

Menjelaskan Teori Perkembangan Moral

    Kepribadian adalah bagian dari jiwa yang membangun keberadaan manusia menjadi satu kesatuan, tidak terpecah – pecah dalam fungsi – fungsi. Memahami kepribadian berarti memahami diri, self atau memahami manusia seutuhnya. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat, perkembangan merupakan suatu proses pemebntukan social self (pribadi dalam masyarakat ) yakni pembentukan dalam masyarakat, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan. Seperti dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yangberlaku dalam masyarakat.

Perkembangan sosial dengan perkembangan moral merupakan dua hal yang saling berkaitan. (Muhibbin Syah, 2010) memberikan pandangannya tentang keterkaitan tersebut bahwa perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Misalnya, seorang siswa hanya akan mampu berperilaku sosial tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk situasi sosial tersebut. Perkembangan moral yang berhasil dapat dilihat dari perilaku moral, sedangkan yang gagal dilihat dari perilaku amoral dan perilaku tidak bermoral. Perilaku moral adalah perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat atau sosial yang berkaitan dengan tata cara, kebiasaan atau adat-istiadat. Perilaku moral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat disebabkan karena acuh atau tidak memahami aturan masyarakat. Sedangkan perilaku tidak bermoral adalah tingkah laku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat sebagai akibat dari ketidaksetujuannya terhadap aturan masyarakat atau bentuk protes terhadap masyarakat (sengaja melanggar).

Pengertian Perkembangan Moral

    Pengertian perkembangan secara luas menunjuk pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru. Helden dan Richards berpendapat moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Kita telah mengetahui arti dari kedua suku kata yaitu perkembangan dan moral maka selanjutnya yaitu kita mulai memahami arti dari gabungan dua kata tersebut “Perkembangan Moral” (Santrock,2007) Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tatacara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial.

Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktivitas seseorang ketika ia tidak terlibat dalam interaksi sosial dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik (Gibbs, 2003; Power, 2004; Walker & Pitts, 1998) . Tahapan perkembangan moral Lawrence Kohlberg dibuat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral yang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.

Perkembangan moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja dalam menemukan identitas dirinya, menghubungkan sikap personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang terjadi selama transisi, sehingga perkembangan moral dapat di artikan sebagai perkembangan yang berkaitan dengan aturaan dan konvensi mengenai apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam interaksi dengan orang lain (Desmita, 2012).

Teori Perkembangan Moral

Ada sejumlah teori tentang perkembangan moral. Tetapi terdapat dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap teori perkembangan moral saat ini , yaitu:

  1. Teori perkembangan moral Jean Piaget

JP - Copy

Teori Piaget (1932) tentang perkembangan kognisi juga mencangkup teori tentang penalaran moral. Piaget percaya bahwa struktur dan kemampuan kognisi berkembang lebih dulu. Kemampuan kognisi kemudian menentukan kemampuan anak – anak bernalar tentang situasi sosial. Piaget membagi teorinya menjadi dua tahap , antara lain :

a. Heteronomous morality ( realisme moral )

    Adalah tahap pertama perkembangan moral yang terjadi sekitar usia empat sampai tujuh tahun , dimana keadilan dan aturan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah , diluar kontrol manusia (John W. Santrock : 2007 : 118). Heterom berarti tunduk pada aturan yang diberlakukan orang lain. Pemikir heteronomous percaya pada keadilan yang imanen (selalu ada), yakni konsep bahwa jika satu aturan dilanggar, maka hukuman akan segera dijatuhkan. Anak kecil percaya bahwa pelanggaran secara otomatis akan menyebabkan jatuhnya hukuman. Mereka sering kali tampat takut setelah melanggar suatu aturan, bersiap-siap menghadapi hukuman. Piaget menemukan bahwa anak –anak tidak menggunakan dan menaati aturan dari suara hati hingga usia 10 atau 12 tahun.

b.Autonomious morality ( moralitas kerja sama )

    Adalah tahap perkembangan moral kedua , yang tercapai pada usia 10 tahun atau lebih. Pada tahap ini , anak mulai mengetahui bahwa aturan dan hukum adalah buatan manusia dan dalam menilai suatu perbuatan , niat pelaku dan konsekuensinya harus dipikirkan. Pada usia ini ketika anak – anak sanggup melakukan fungsi normal. Setiap anak jika mengikuti suatu permainan menaati seperangkat aturan yang sama. Anak –anak mengerti bahwa aturan ada untuk memberikan arah permainan tersebut dan untuk meminimalkan sengketa diantara para pemain. Mereka mengerti bahwa aturan adalah sesuatu yang disetujui setiap orang dank arena itu, apabila setiap orang setuju mengubahnya, hal itu dapat diubah.

Moralitas tersebut muncul ketika dunia sosial anak meluas hingga meliputi makin banyak teman sebaya. Dengan terus – menerus berinteraksi dan bekerjasama, gagasan anak tersebut tentang aturan akan berubah. Kini aturan adalah apa yang kita buat, hukuman tidak lagi otomatis tetapi harus diberikan dengan pertimbangan. Sedangkan anak usia tujuh tahun sampai sepuluh tahun berada dalam masa transisi diantara kedua tahapan tersebut dan karenanya mereka menunjukkan ciri-ciri dari kedua tahap tersebut.Piaget mengatakan bahwa perkembangan moral terutama berlangsung melalui hubungan timbal balik dengan rekan seusia. Menurut Piaget, orang tua tidak terlalu memainkan peran yang penting dalam perkembangan moral anak karena mereka punya kekuasaan yang lebih besar ketimbang anak dan menentukan aturan secara otoriter.

Tahap – Tahap Perkembangan Moral Piaget

    Ketika orang berkembang kemampuan kognisinya, pemahaman mereka tentang masalah moral juga menjadi makin canggih. Pandangan anak – anak kecil (young children) tentang yang benar dan salah lebih bersikap kaku daripada kecenderungan sikap anak – anak besar (older children) dan orang dewasa.

2. Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg

kohl

    Kohlberg menyusun teori perkembangan moral yang terdiri dari tiga level dengan dua tahap pada setiap level. Konsep penting untuk memahami teori ini adalah internalisasi , yang berarti perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal (John W. Santrock : 2007 : 371). Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkembangan yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Kohlberg tidak mempelajari permainan anak – anak melainkan menyelidiki tanggapan mereka terhadap beberapa situasi terstruktur atau dilema moral. Suatu struktur proses berpikir yang mendasari perilaku moral (moral behavior).Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget,yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya. Kohlberg menggunakan cerita-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama.

Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara, anak-anak diberikan serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Bagaimana anak-anak dalam penyikapi setiap cerita yang dilakukan oleh masing-masing tokoh dalam cerita yang disampaikan oleh kohlberg. Berikut ini adalah salah satu cerita dilema Kohlberg yang paling populer:

“Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lipat lebih mahal dari pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan satu dosis kecil obat ia membayar 200 dolar dan menjualnya 2000 dolar. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya bisa mengumpulkan 1000 dolar atau hanya setengah dari harga obat tersebut. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau memperbolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata, “Tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya” .

Cerita ini adalah salah satu dari sebelas cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Mengapa? Apakah tugas suami untuk mencuri obat bagi istrinya kalau ia tidak mendapatkannya dengan cara lain? Apakah apoteker memiliki hak untuk mengenakan harga semahal itu walaupun tidak ada suatu aturan hukum yang membatasi harga? Mengapa atau mengapa tidak?. Berdasarkan penalaran tersebut, Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif, setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih memenuhi syarat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya :

  1. Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

Penalaran pra-konvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg, mempunyai bentuk dan isi yang sangat mirip dengan tahap moralitas heteronom Piaget. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal. Anak-anak menerima aturan figur otoritas, dan tindakan yang dinilai oleh konsekuensi mereka. Perilaku yang mengakibatkan hukuman dipandang sebagai buruk, dan mereka yang mengarah pada penghargaan dilihat sebagai baik. Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris:

a. Orientasi kepatuhan dan hukuman.

Orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and obedience orientation) ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman, seseorang memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Anak-anak pada tahap ini sulit untuk mempertimbangkan dua sudut pandang dalam dilema moral. Akibatnya, mereka mengabaikan niat orang-orang dan bukan fokus pada ketakutan otoritas dan menghindari hukuman sebagai alasan untuk bersikap secara moral.

b. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?).

Individualisme dan tujuan (individualisme and purpose) ialah tahap kedua dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Anak-anak menyadari bahwa orang dapat memiliki perspektif yang berbeda dalam dilema moral, tetapi pemahaman ini adalah, pada awalnya sangat konkret. Mereka melihat tindakan yang benar sebagai yang mengalir dari kepentingan diri sendiri. Timbal balik dipahami sebagai pertukaran yang sama nikmat “Anda melakukan ini untuk saya dan saya akan melakukannya untuk Anda.”

2.Tingkat 2 (Konvensional).

    Pada tahap ini moralitas didefinisikan berdasar kerja sama dengan teman sebaya tepat seperti pada tahap moralitas autonom Piaget. Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah, seseorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orang tua atau masyarakat. Pada tingkat konvensional, seseorang terus memperhatikan kesesuaian dengan aturan-aturan sosial yang penting, tetapi bukan karena alasan kepentingan diri sendiri. Mereka percaya bahwa aktif dalam memelihara sistem sosial saat ini memastikan hubungan manusia yang positif dan ketertiban masyarakat. Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Karena berkurangnya egosentrisme yang menyertai kegiatan konkret, anak – anak secara kognisi sanggup menempatkan diri ke dalam keadaan orang lain. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat:

a.Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik).

Norma-norma interpersonal (interpersonal norms) ialah tahap ketiga dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi untuk menjadi “anak manis”. Pada tahap selanjutnya, terjadi sebuah proses perkembangan kearah sosialitas dan moralitas kelompok. Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Kesadaran dan kepedulian atas kelompok akrab, serta tercipta sebuah penilaian akan dirinya dihadapan komunitas/kelompok. Keinginan untuk mematuhi aturan karena mereka mempromosikan hubungan harmoni sosial muncul dalam konteks hubungan pribadi yang dekat. Seseorang ingin mempertahankan kasih sayang dan persetujuan dari teman-teman dan kerabat dengan menjadi “orang baik”, bisa dipercaya, setia, menghormati, membantu, dan baik. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya pada tahap ini. Sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang “anak baik” untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.

b.Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan).

Moralitas sistem sosial (social system morality) ialah tahap keempat dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Pada kondisi ini dimana seseorang sudah mulai beranjak pada orientasi hukum legal/peraturan yang berfungsi untuk menciptakan kondisi yang tertib dan nyaman dalam kelompok/komunitas. Seseorang memperhitungkan perspektif yang lebih besar dari hukum masyarakat. pilihan moral tidak lagi tergantung pada hubungan dekat dengan orang lain. Sebaliknya, peraturan harus ditegakkan dengan cara sama untuk semua orang, dan setiap anggota masyarakat memiliki tugas pribadi untuk menegakkan mereka serta mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.

3. Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)

    Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi. Seseorang pada tingkat pasca-konventional bergerak di luar tidak perlu diragukan lagi dukungan untuk peraturan dan undang-undang masyarakat mereka sendiri. Mereka mendefinisikan moralitas dalam hal prinsip abstrak dan nilai-nilai yang berlaku untuk semua situasi dan masyarakat. Tingkatan pasca-konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi:

a.Orientasi kontrak sosial.

Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights versus individual rights) ialah tahap kelima dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain, menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum. Seseorang dipandang sebagai memiliki pendapat dan nilai-nilai yang berbeda. Pada tahap ini penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak?’. Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima. Seseorang menganggap hukum dan aturan sebagai instrumen yang fleksibel untuk melanjutkan tujuan manusia. Mereka dapat membayangkan alternatif tatanan sosial mereka, dan mereka menekankan prosedur yang adil untuk menafsirkan dan mengubah hukum. Ketika hukum konsisten dengan hak-hak individu dan kepentingan mayoritas setiap orang mengikuti mereka karena orientasi partisipasi kontrak sosial bebas dan bersedia dalam sistem karena membawa lebih baik bagi orang-orang dari pada jika tidak ada.

b. Prinsip etika universal.

Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) ialah tahap keenam dan tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap tertinggi, tindakan yang benar didefinisikan sendiri, prinsip-prinsip etis yang dipilih dari hati nurani yang berlaku untuk semua umat manusia, tanpa hukum dan kesepakatan sosial. Penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan, juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus, dengan cara ini tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.

Belakangan Kohlberg berpendapat bahwa tahap 5 dan 6 sesungguhnya tidak terpisahkan dan menyarankan keduanya untuk digabung. Kohlberg percaya bahwa dilemma moral dapat digunakan untuk memajukan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya setahap demi setahap.

 

Tahap – Tahap Perkembangan Moral Kholberg.

Ketika orang mempertimbangkan dilema moral, penalaran mereka sendirilah yang berperan penting, bukan keputusan akhir mereka, menurut Lawrence Kohlberg. Dia mempunyai teori bahwa orang melewati tiga tingkat ketika mereka mengembangkan kemampuan penalaran moral.

I.                   Tingkat Prakonvensi II.                Tingkat Konvensi III.             Pasca-Konvensi

Aturan dirumuskan orang lain.

Tahap 1 : Orientasi Hukum dan Ketaatan. Konsekuensi fisik tindakan menentukan kebaikan dan keburukannya.

Tahap 2 : Orientasi Relativis Instrumental. Apa yang benar adalah apa saja yang memuaskan kebutuhan diri sendiri dan kadang – kadang kebutuhan orang lain. Unsur – unsur keadilan dan ketimbalbalikan ada, tetapi kebanyakan ditafsirkan dalam bentuk “ Anda menggaruk punggung saya, saya akan menggaruk punggung anda.”

Individu menganut aturan dan kadang – kadang akan menomorduakan kebutuhan sendiri dibandingkan kebutuhan kelompok. Harapan keluarga, kelompok atau bangsa dipandang bernilai bagi dirinya, tanpa peduli pada konsekuensinya yang langsung dan tampak jelas.

Tahap 3 : Orientasi “ Anak Baik .“

Perilaku yang baik adalah apa saja yang menyenangkan atau membantu orang lain dan disetujui oleh mereka. Seseorang memeroleh persetujuan dengan bersikap “ manis.”

Tahap 4 : Orientasi “ Hukuman dan Keteraturan.”

Benar berarti melakukan kewajiban seseorang, dengan memperlihatkan sikap hormat kepada orang yang berwenang dan mempertahankan tatanan sosial tertentu bagi dirinya.

Orang mendefinisikan nilai – nilainya sendiri berdasar prinsip etika yang telah mereka pilih untuk diikuti

Tahap 5 : Orientasi Kontrak Sosial.

Apa yang benar ditentukan berdasar hak – hak individu umum dan berdasar standar yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Berbeda dari Tahap 4, undang – undang tidak “beku” – UU tersebut dapat diubah demi kebalikan masyarakat.

Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal. Apa yang benar ditentukan oleh keputusan suara hati menurut prinsip etika yang dipilih pribadi. Prinsip ini adalah abstrak dan etis (seperti Kaidah Emas), bukan ketentuan moral spesifik.

Menganalisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral ini sesungguhnya banyak sekali yang terpenting antara lain:

  1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap orang dalam masyarakat.

Keyakinan agama yang didasarkan pada pengertian yang sesungguhnya dan sejalan tentang ajaran agama yang dianutnya, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut merupakan benteng moral yang paling kokoh. Apabila berkeyakinan beragama itu betul-betul telah menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang, keyakinannya itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaanya jika terjadi tarikan orang kepada sesuatu yang tampaknya cepat berpindah meneliti apakah hal tersebut boleh atau terlarang oleh agamanya. Andaikan yang termasuk terlarang betapapun tarikan luar itu tidak akan diindahkannya karena takut melaksanakan yang dilarang oleh agamanya.

  1. Keadaan masyarakat yang kurang stabil.

Faktor kedua yang ikut mempengaruhi moral masyarakat ialah kurang stabilnya keadaan, baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Kegoncangan atau ketidakstabilan suasana yang menyelimuti seseorang menyebabkan cemas dan gelisah, akibat tidak dapatnya mencapai rasa aman dan ketentraman dalam hidup. Misalnya apabila keadaan ekonomi goncang, harga barang-barang naik turun dalam batas yang tidak dapat diperkirakan lebih dahulu oleh orang-orang dalam masyarakat, maka untuk mencari keseimbangan jiwa kembali, orang terpaksa berusaha keras. jika ia gagal dalam usahanya yang sehat, disinilah terjadi penyelewengan.

  1. Banyaknya tulisan dan gambar yang tidak mengindahkan dasar moral.

Suatu hal yang belakangan ini kurang mendapat perhatian kita ialah tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, kesenian-kesenian dan permainan-permainan yang seolah-olah mendorong anak-anak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi moral dan mental kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat dipenuhi begitu saja. Lalu digambarkan dengan sangat realistis, sehingga semua yang tersimpan di dalam hati anak-anak muda diungkap dan realisasinya terlihat dalam cerita lukisan atau permainan tersebut. Ini pun mendorong anak-anak muda ke jurang kemerosotan moral.

  1. Tidak terlaksananya pendidikan moral yang baik.

Faktor keempat yang juga penting, adalah tidak terlaksananya pendidikan moral yang baik, dalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Pembinaan moral, seharusnya dilaksanakan sejak si anak kecil, sesuai dengan kemampuan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik buat pertumbuhan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. juga perlu diingatkan bahwa pengertian moral, belum dapat menjamin tindakan moral. Pada dasarnya moral bukanlah suatu pelajaran atau ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan mempelajari, tanpa membiasakan hidup bermoral dari kecil dan moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian, tidak sebaliknya.

  1. Kurangnya kasadaran orang tua akan pentingnya pendidikan moral dasar sejak dini

Moral adalah salah satu buah iman oleh karena itu maka agar anak mempunyai moral yang bagus harus dilandasi dengan iman dan terdidik untuk selalu ingat pasrah kapada-Nya, dengan begitu anak akan memiliki bekal pengetahuan untuk terbiasa mulia, sebab benteng religi sudah mengakar di dalam hatinya.

  1. Banyaknya orang melalaikan budi pekerti

Budi pekerti adalah mengatakan atau melakukan sesuatu yang terpuji atau perangai yang baik. Penanaman budi pekerti dalam jiwa anak sangat penting apabila dilihat dari hadits Nabi: “Seorang bapak yang mendidik anaknya adalah lebih baik dari pada bersedekah sebanyak satu sha”. “Tidak ada pemberian seorang bapak kepada anaknya yang lebih baik dari pada budi pekerti”. Namun sebagian orang tua melalaikan kepentingan pembinaan budi pekerti dan sopan santun anak. Para orang tua yang malang itu tidak sadar, bahwa ia telah menjerumuskan anaknya sendiri ke jurang, padahal pembinaan budi pekerti adalah hak anak atas orang tuanya seperti hak makan, minum serta nafkah.

  1. Suasana rumah tangga yang kurang baik

Faktor yang terlihat dalam masyarakat sekarang ialah kerukunan hidup dalam rumah tangga kurang terjamin. Tidak tampak adanya saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling mencintai diantara suami istri. Tidak rukunnya ibu bapak menyebabkan gelisahnya anak-anak mereka menjadi takut, cemas dan tidak tahan berada di tengah-tengah orang tua yang tidak rukun. Anak-anak yang gelisah dan cemas itu mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang merupakan ungkapan dari rasa hatinya, biasanya mengganggu ketentraman orang lain.

  1. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang

Suatu faktor yang telah ikut juga memudahkan rusaknya moral anak-anak muda, ialah kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu luang, dengan cara yang baik dan sehat. Pada rentang usia dini akhir adalah usia dimana anak suka berkhayal, melamunkan hal yang jauh atau sulit dijangkau. Kalau mereka dibiarkan tanpa bimbingan dalam mengisi waktu luang maka akan banyak lamunan yang kurang sehat timbul dari mereka.

  1. Kurangnya tempat layanan bimbingan

Terakhir perlu dicatat, bahwa kurangnya tempat layanan bimbingan dan penyuluhan yang akan menampung dan menyalurkan anak-anak ke arah mental yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak adanya tempat kembali bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu, maka pergilah mereka berkelompok dan bergabung kepada anak-anak yang juga gelisah. Dari sinilah akan keluar model kelakuan anak yang kurang menyenangkan.

Upaya pengembangan moral, nilai, dan sikap serta implikasinya bagi pendidikan

Tahap-tahap perkembangan moral pada remaja telah mencapai pada tahap moralitas hasil interaksi seimbang yaitu secara bertahap anak mengadakan internalisasi nilai moral dari orangtuanya dan orang-orang dewasa di sekitarnya. Pada akhir masa remaja terdapat lima perubahan yang dapat dilukiskan sebagai berikut:

  1. Pandangan moral remaja mulai menjadi abstrak, menifestasi dari ciri ini adalah prilaku remaja yang suka saling bernasihat sesama teman dan kesukaannya pada kata-kata mutiara.
  2. Pandangan moral remaja sering terpusat pada apa yang benar dan apa yang salah. Sehingga remaja sangat antusias pada usaha-usaha reformasi sosial.
  • Penilaian moral pada remaja semakin mendasarkan diri pada pertimbangan kognitif, yang mendorong remaja mulai menganalisis etika sosial dan mengambil keputusan kritis terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
  1. Penilaian moral yang dilakukan remaja menunjukkan perubahan yang bergerak dari sifat egosentris menjadi sosiosentris, sehingga remaja senang sekali bila dilibatkan dalam kegiatan memperjuangkan nasib sesama, kesetiakawanan kelompok yang kadang-kadang untuk ini remaja bersedia berkorban fisik.
  2. Penilaian moral secara psikis juga berkembang menjadi lebih mendealam yang dapat merupakan sumber emosi dan menimbulkan ketegangan-ketegangan psikologis. Sehingga pada akhir masa remaja moral yang dianutnya diharapkan menjadi kenyataan hidup dan menjadi barang berharga dalam hidupnya.

Apa yang terjadi dalam diri pribadi seseorang hanya dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala sertra tingkah laku orang lain. Diantara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual,disusul oleh penhayatan nilai tersebut, dan kemudian tumbuh didalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut

Karena itu, ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang sesuatu nilai tetap menjadi pengetahuan. Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan, maka kita dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral dan sikap remaja adalah:

  1. Menciptakan Komunikasi

Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya  yang mengikutsertakan remaja dalam pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga. Sedangkan  dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.

Disekolah para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral, misalnya dalam kerja kelompok,sehingga dia belajar untuk tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma moral.

2. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi

Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup tersebut umunya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen yang senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata, tetapi mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif dimana factor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan factor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat terutama mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan Pembina yaitu orang tua dan guru.

BAB III

SIMPULAN

Secara umum perkembangan nilai, moral dan sikap pada individu di pengaruhi oleh faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar individu, seperti lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dimana dalam lingkungan ada interaksi antara lingkungan dengan individu.Setiap individu memiliki perkembangan nilai, moral dan sikap yang berbeda-beda. Hal itu tergantung usia, faktor kebudayaan dan tingkat pemahamannya. Upaya –upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangn nilai, moral dan sikap remaja adalah menciptakan komunikasi di samping memberi informasi,tetapi remaja diberikan kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan system lingkungan yang kondusif atau aman. Sehingga guru mampu mengajar dan mendidik dengan baik serta peserta didik mampu menerima dan mengaplikasikannnya dengan baik pula.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
  2. Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis). Jakarta : Kanisius
  3. Chaplin, J.P. (terj. Kartini Kartono).2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada.
  4. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
  5. Hartinah, Sitti. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Refika Aditama.
  6. Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company.
  7. Jufri, A. Wahab. 2010. Belajar dan Pembelajaran Sains. Mataram: Arga Puji Press.
  8. Muhibbin, Syah. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
  9. Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
  10. Santrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan edisi kedua. Jakarta : Kencana.
  11. Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Indeks.
  12. Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono.2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:Rineka Cipta.
  13. Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
  14. https://safnowandi.wordpress.com/2012/11/04/teori-perkembangan-kepribadian-sosial-dan-moral/ [Jum’at,1 Mei 2015. 20:59].
  15. (https://malpalenisatriana.wordpress.com/2010/11/05/perkembangan-moral-menurut-teori-lawrence-kohlberg/ ) [Sabtu.2 Mei 2015. 17:30].