konsepdiri

                                                                                          sumber : google.com

 

Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologik kedewasaan tentu bukan hanya tercapainya umur tertentu , tetapi sebuah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri psikologik tertentu pada seseorang (Sarwono,2002). Ciri – ciri psikologik menurut G. W. Allport ialah :

  1. Pemekaran diri sendiri (extension of the self), yang ditandai dengan kemampuan seorang untuk menganggap orang atau hak orang lain sebagai bagian dari dirinya sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan dir sendiri) berkurang, sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki. Salah satu tanda khasnya adalah tumbuh kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya. Kemampuan untuk meneggang rasa dengan orang yang dicintainya, untuk ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh orang yang dicintainya itu menunjukkan adanya tanda-tanda kepribadian yang dewasa (mature personality) . Ciri lain adalah berkembangnya ego ideal berupa cita-cita dan sebagainya yang menggambarkan bagaimana wujud ego (diri sendiri) di masa depan.
  2. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor) termasuk yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. Ia tidak marah jika dikritik dan di saat-saat yang diperlukan ia bias melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar.
  3. Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life). Tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannya dalam kata-kata. Orang yang sudah dewasa tahu dengan tepat tempatnya dalam rangka susunan objek-objek lain di dunia. Ia tahu kedudukannya dalam masyarkat, ia paham bagaiamana harusnya ia bertingkah laku dalam kedudukan tersebut dan ia berusaha mencari jalannya sendiri menuju sasaran yang ia tetapkan sendiri. Orang seperti ini tidak lagi terpengaruh dan pendapat-pendapatnya serta sikap-sikapnya cukup jelas dan tegas.

      Ada sesuatu yang tetap dalam kepribadian orang yang selalu berubah–ubah itu. Menurut G. W. Allport dalam bukunya, hal itu dinamakan trait, yaitu suatu sifat atau dalam istilah Allport sendiri dissposition yang menentukan bagaimana orang yang bersangkutan bertingkah laku. Sifat ini akan selalu mewarnai tingkah laku orang yang bersangkutan terlepas dari situasi yang dihadapi orang tersebut. Seperti orang yang “angkuh” misalnya akan selalu nampak angkuh dalam situasi apa pun. S.R. Maddi mengatakan bahwa perbedaan antara trait (konstansi atau ketetapan yang disposisional) dengan konstansi tingkah laku biasa (misalnya kebiasaan) adalah bahwa trait menunjukkan pada tingkah laku dalam skala besar (molar) sedangkan konsistensi tingkah laku hanya menunjukkan kepada tingkah laku dalam skala kecil (molekular), misalnya kebiasaan bangun pagi atau kebiasaan menulis dengan tangan kiri. Hal-hal yang terakhir itu bukan trait.

Ditinjau dari teori psikoanalsis, “trait” ini terletak pada ego seseorang, oleh karena menurut teori ini ego merupakan pusat adaptasi stimulus dari luar maupun dari dalam diri seseorang. Menurut Coppolillo, ego bertugas untuk menghambat atau menyalurkan stimulus atau dorongan tertentu, baik yang dari dalam maupun dari luar, sehingga tercapai titik ambang tertentu yang menentukan ciri dari individu. Khususnya pada diri remaja proses perubahan itu merupakan hal yang harus terjadi oleh karena dalam proses pematangan kepribadiannya remaja sedikit demi sedikit memunculkan ke permukaan sifat-sifatnya yang sesungguhnya. Menurut Richmond dan Sklansky inti dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja awal dan menengah adalah memperjuangkan kebebasan. Sedangkan menemukan bentuk kepribadian yang khas (unifying philosophy of life) dalam periode itu belum menjadi sasaran utama.

Remaja memiliki penghayatan mengenai siapakah mereka dan apa yang membedakan dirinya dari orang-orang lain. Hal ini mengeksplorasi remaja untuk mulai dengan memaparkan informasi mengenai pemahaman dirinya. Meskipun begitu, diri tidak hanya melibatkan pemahaman diri namun juga harga diri dan konsep diri. Harga diri (self-esteem) yang sering disebut martabat diri atau gambaran diri, adalah suatu dimensi global dari diri. Sebagai contoh, seorang remaja mungkin menangkap bahwa ia tidak hanya sebagai seorang pribadi, namun juga seorang pribadi yang baik. Sedangkan konsep diri (self-concept) merujuk pada evaluasi yang menyangkut bidang-bidang tertentu dari diri. Remaja melakukan evaluasi-diri dalam berbagai bidang seperti akademik, atletik, penampilan fisik, dan sebagainya (Santrock, 2007). Beberapa ahli merumuskan konsep diri yaitu :

    1. Baron dan Byrne

Konsep diri merupakan sekumpulan fungsi kompleks yang berbeda yang dipegang seseorang tentang dirinya.

    2. Burns

Konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan orang-orang lain berpendapat,  mengenai diri kita dan seperti apa yang kita inginkan.

   3. Hurlock

Merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi.

   4. William D. Broks

Konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang kita, yang bersifat psikologi, sosial, dan fisis.

   5. Sulaeman

Konsep diri mempunyai empat aspek, yaitu bagaimana orang mengamati dirinya sendiri, bagaimana orang berpikir tentang dirinya, bagaimana orang menilai dirinya dan bagaimana berusaha dengan berbagai cara untuk menyampaikan dan mempertahankan diri.

   6. Calhoun dan Acocela

Konsep diri adalah gambaran mental individu yang terdiri dari pengetahuannya tentang diri sendiri, dan penilaian terhadap diri sendiri.

Konsep diri dapat terbagi menjadi dua yaitu :

  1. Konsep Diri Positif

Konsep diri ini bersifat stabil dan bervariasi, individu yang memiliki konsep diri ini mengetahui betul tentang dirinya. Karakteristik konsep diri positif seperti merasa sanggup menyelesaikan maslah yang terjadi, merasa sepadan dengan orang lain, tidak malu saat dipuji dan merasa mampu memperbaiki diri.

      2. Konsep Diri Negatif

Calhoun dan Acocela membagi konsep ini menjadi dua tipe yaitu pertama pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Kedua individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kelebihan dan kelemahannya atau cara hidup yang tepat. Karakteristik konsep diri negatif seperti sensitif terhadap kritik, senang dengan pujian, merasa tidak disukai orang lain, suka mengkritik orang lain dan bermasalah dengan lingkungan sosialnya.

        Didalam Al-Qur’an menjelaskan tentang konsep diri positif bagi umat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang diberikan amanah untuk menjadi khalifah didunia ini. Keimanan akan membimbing kita untuk membentuk konsep diri yang positif, dan konsep diri akan melahirkan perilaku yang positif pula yang biasa disebut amal sholeh. Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan iman yang diiringi amal

ونفس وما سوها(7) فالهمها فجورها وتقوها(8) قد افلح من زكها(9) وقد خاب من دسها(10)

Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaanya(7) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya(8) sesungguhnya beruntunglah orang yang mrnyucikan jiwa(9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya(10)”  (Q.s 91: 7-10)

Jadi manusia diberi pengetahuan tentang hal-hal yang positif dan negatif. Kemudian manusia mempunyai kebebasan jalan mana yang akan ia ambil.

Dan dijelaskan pada salah satu hadist “Sesungguhnya Allah Taala tidak akan melihat kepada bentuk (rupa) kamu, tidak juga harta kamu, tetapi Ia melihat kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu”. (HR. At- Thabrani).

                             

 

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

  1. Teori Perkembangan
  2. Orang Terpenting atau Terdekat (Significant Other)
  3. Persepsi Diri Sendiri (Self Perception)
  4. Aktualisasi Diri
  5. Konsep Diri Positif
  6. Harga Diri Rendah
  7. Kerancuan Identitas
  8. Depersonalisasi

Mengembangkan Perkembangan Konsep Diri

Menurut Charles Horton Cooley konsep diri dapat dimunculkan dengan melakukan pembayangan diri sendiri sebagai orang lain, yang disebutnya sebagai cermin diri (looking-glass self) seakan-akan kita menaruh cermin dihadapan kita sendiri. Prosesnya membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain, kita melihat sekilas diri seperti dalam cermin. Menurut Verderber, upaya mengembangkan perkembangan konsep diri individu dapat dilakukan dengan cara :

  1. Self-appraisal
  2. Reaction and Response of Others
  3. Roles You Play-Role Taking
  4. Reference Groups
  5. Berpikir Positif
  6. Jangan memusuhi diri sendiri

 

Daftar Pustaka :

  1. Sarwono, Sarlito W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
  2. Santrock, John W. 2007. Remaja. Jakarta : Penerbit Erlangga.